Suara Pembaharu
Artikel

Hakikat Haji di Ka’bah Hati

Haji adalah puncak kesempurnaan berislam, tetapi betapa banyak orang berhaji hanya karena sebuah “status sosial” semata. Salah satunya Ini terlihat dalam sapaan dan penulisan Nama dengan titel “H” atau “Hj” untuk yang sudah HAJI made in Saudi. Mereka lupa bahwa Haji adalah terminal akhir dari arkanul Islam, dimana Syahadatain (Sy), Shalat (Sh), Puasa (P) dan Zakat (Z) telah mendahuluinya.

Inilah mungkin yang jadi sebab, banyaknya riwayat tentang banyaknya orang yang berhaji tapi sangat sedikit yang meraih ke-Mabrur-an hajinya.

Sang Professor Reformasi, ketika membaca ulasan haji sang Sosiolog Persia asy-Syariati, memberi catatan yang sangat menohok; bahwa setelah membaca asy-syariati beliau meyakini bahwa beliau belum pernah berHaji.

“Sekiranya saya telah membaca karya Ali Syariati ini sebelum menunaikan ibadah haji, tentu perjalanan spiritual saya akan lebih berkualitas.”

komentar cendekiawan Muslim Indonesia Prof. Dr. Ahmad Syafi’i Ma’arif setelah menyelami sang asy-Syariati. sebelum berangkat haji, kita harus ‘menggugat’ dulu niat, perangkat dan perilaku jiwa kita.

Sudah benarkah niat kita? Halalkah uang yang kita gunakan untuk membiayai keberangkatan kita? Jiwa mana yang kita bawa? Jiwa yang hendak bertekuk lutut dan mengakui kehinaan di hadapan Tuhan, ataukah jiwa yang hendak ‘memperalat’ Tuhan demi status baru sebagai manusia yang gila hormat dan sanjungan? Ataukah sekedar memperpanjang gelar yang kita sandang..?

Sebuah syair panjang sang Parsian ini mungkin bisa mrnggambarkannya sedikit :

Dengan membawa kemuliaan jamaah haji telah kembali.
Mereka bersyukur kepada Allah Yang Pengasih.
Di dalam perjalanan dari Arafat menuju Mekkah,
Dengan takzim mereka mengulangi ucapan ‘Labbaika’.
Ketika menghadapi kekerasan Padang Pasir Hijaz,
Mereka bersukaria kerana telah selamat dari siksa dan api.
Mereka telah menunaikan haji dan telah menyelesaikan umrah.
Kini, dalam keadaan selamat mereka kembali ke tanah air.
Aku menyempatkan diri untuk menyambut kepulangan mereka,
Walau biasanya orang – orang yang seperti aku ini, tidak berbuat demikian.
Tetapi salah seorang diantara para jamaah itu,
Adalah sahabatku yang sejati.
Kepadanya aku bertanya, bagaimanakah ia telah menempuh
Perjalanan yang sangat sulit dan menakutkan itu?
Kepadanya, kukhabarkan, sejak kepergiannya meninggalkan aku sendiri,
Yang kurasakan adalah sesal dan duka – cita semata – mata.
Tetapi kini aku gembira kerana engkau telah menunaikan ibadah haji, 
Dan kerana engkaulah satu – satunya haji di negeri kita ini.
Ceritakanlah kepadaku: Bagaimanakah engkau telah menunaikan haji?
Bagaimanakah engkau telah memuliakan Tanah Suci?
Setelah melepas pakaian dan hendak mengenakan ihram,
Di saat – saat hati menggelora itu, apakah ‘niat’ – mu?
Telah engkau tinggalkanlah setiap sesuatu yang harus engkau tinggalkan?
Telah engkau tinggalkankankah setiap sesuatu yang lebih hina daripada Allah Yang Maha Besar?
Tetapi jawabnya: Tidak!
Kepadanya aku bertanya:
Apakah ia telah menyerukan ‘Labbaika’
Dengan pengetahuan yang sempurna dan dengan penuh takzim? Apakah ia telah patuh dengan kepatuhan Ibrahim?
Tetapi jawabnya: Tidak!
Kepadanya aku bertanya:
Ketika berada di Arafat,
Ketika sedemikian hampir kepada Allah Yang Maha Besar,
Sempatkah ia berkenalan dengan Dia?
Tidakkah ia berhasrat untuk mempelajari sedikit pengetahuan?
Tetapi jawabnya: Tidak!
Kepadanya aku bertanya:
Ketika masuk ke dalam Ka’bah
Seperti yang telah dilakukan oleh keluarga ‘Kahf dan Raquim’
Tidakkah dibuangnya sikap mementingkan diri sendiri?
Tidakkah ia takut kepada hukuman akhirat nanti?
Tetapi jawabnya: Tidak!
Kepadanya aku bertanya:
Ketika menembak berhala – berhala,
Tidakkah ia memandang berhala – berhala itu sebagai syaitan?
Dan setelah itu tidakkah ia menghindari kejahatan?
Tetapi jawabnya: Tidak!
Kepadanya aku bertanya: 
Ketika berkorban,
Untuk makanan orang – orang yang lapar dan anak – anak yatim,
Bukan Allah – kah yang pertama sekali difikirkannya?
Dan, setelah itu tidakkah ia membunuh ketamakan di dalam dirinya?
Tetapi jawabnya: Tidak!
Kepadanya aku bertanya:
Ketika berdiri di Maqam Ibrahim,
Apakah ia bersandar kepada Allah semata – mata
Dengan hati yang tulus dan keyakinan yang teguh?
Tetapi jawabnya: Tidak!
Kepadanya aku bertanya:
Ketika melakukan thawaf
Mengelilingi Ka’bah,
Tidak ingatkah ia bahwa semua malaikat 
Senantiasa thawaf mengelilingi bumi?
Tetapi jawabnya: Tidak!
Kepadanya aku bertanya:
Ketika melakukan Sa’y,
Ketika berlari – lari diantara Shafa dan Marwa,
Tidakkah ia menjadi suci dan bersih?
Tetapi jawabnya: Tidak!
Kepadanya aku bertanya:
Kini, setelah kembali dari Mekkah,
Dan rindu kepada Ka’bah,
Tidakkah akunya terkubur di sana?
Tidakkah ia berhasrat untuk pergi lagi?
Tetapi jawabnya: Tidak!
“Semua yang engkau pertanyakan ini,
Tidak satupun yang kumengerti!”
Maka kepadanya aku berkata:
Wahai sahabat! Sesungguhnya engkau belum menunaikan ibadah haji!
Sesungguhnya engkau belum taat kepada Allah!
Memang engkau telah pergi ke Mekkah untuk mengunjungi Ka’bah! Memang engkau telah menghamburkan wang untuk membeli kekerasan padang pasir!
Jika engkau berniat hendak melakukan ibadah haji sekali lagi,
Berbuatlah seperti yang telah kuajarkan ini!

Tetapi semua itu ternyata hanyalah sebuah sinopsis mahakecil dari sebuah pelajaran hakikat haji di hati ka’bah yang diajarkan sang Cucu kinasih Rasulullah Saw. Sayyidil Imam Zain al-Abidin as-Sajjad kepada sang murid asy-Syibli ra..

Baca Juga :  Menakar Kekuatan Maurits Mantiri dan Max J Lomban

Pelajaran-pelajaran haji sang Imam yang menggetarkan arsy Allah itu semoga bisa menjadi bekal bagi kita yang belum berHaji, dan bahan instropeksi bagi yang sudah berHaji. (Bersambung…)

Penulis : Andi Muhammad Nur

Postingan lainnya